Nasi Boran Khas Lamongan |
Pergi ke Rumah Sakit Sambil Jajan – Multitasking, kan?
Oh, iya. Akhir bulan Maret kemarin aku pergi untuk check up rutin ke RSUD. Dr. Soegiri. Di sana masih sama, meskipun rumah sakit umum, tapi pelayanannya tak kalah dengan rumah sakit swasta. Kebersihannya tergaja, dan karyawan yang melayani sepenuh hati dengan senyumnya yang membuat pasien merasa nyaman.
Sebagai pasien yang hanya mengandalkan BPJS, aku tidak merasa mendapat diskriminasi oleh para tenaga medis di sana. Semua pasien pelayanannya disamaratakan. Kecuali pada tempat pengambilan obat. Apotik pasien umum dan BPJS memang terpisah. But, it’s no problem for me.
Pentol Depan RSUD dr. Soegiri itu Enak Sekali
Setiap kontrol, aku selalu mampir ke tukang jual cilok (Aku menyebutnya pentol) yang mangkal di depan RSUD. Rasanya enak. Dengan dipadu saos tomat, sambal kacang, dan kecap manis, membuat rasa pentol ini sungguh nikmat. Apalagi kalau makannya masih dalam keadaaan panas mengepul. Wuuih, semakin mantap.
Pentol Depan RSUD dr. Soegiri itu Enak Sekali |
Biasanya aku beli dengan harga Rp. 5.000,- Mang ciloknya tidak mematok minimal pembelian. Bahkan misal aku cuma beli Rp. 500,- saja pasti dikasih cilok satu tusuk. Tapi ya nggak elite banget. Masa cewek cantik penuh pesona sepertiku jajan cilok cuma satu tusuk? Gengsi dwong.
Kembali ke cilok. Uang Rp. 5.000,- tadi beneran dapat cilok banyak, lho. Ada yang butiran kecil, ada yang isi telur puyuh, pentol daging cincang kasar, siomai goreng, dan ada tahu baksonya juga, lho? Murah meriah banget, kan? Kalau ada yang enak, murah, dan halal, kenapa tidak?
Nasi Boran Pilihan Makan Siang yang Nikmat
Okey, check up ke RSUD sudah selesai dan kami (Aku dan suami) pun pulang dengan mengendarai motor beat kesayangan.
Nasi Boran Pilihan Makan Siang yang Nikmat |
“Mau makan di mana?” tanya my honey bunny sweaty padaku.
“Terserah,” jawabku.
Aku memang selalu memakai kata ‘terserah’ untuk menjawab pertanyaan dari suami. Terserah artinya ya memang terserah. Bukan terserah tapi ketika ditentukan menjadi tidak mau atau pilih opsi lain. Akhirnya kami berhenti di lapak penjual nasi lesehan pinggir jalan.
— Sego Boran Khas Lamongan – Menu Lauk Pilih Sendiri —
Begitulah banner yang terpasang di lapak pinggir jalan tersebut. Kami pun langsung memesan tanpa babibu. Di situ ada ikan mujaer, ikan gabus, daging ayam yang meliputi sayap, paha, kepala, ceker, dan jeroan. Ada juga sayur, rempeyek, perkedel dan masih banyak lainnya.
Kulihat penjual itu dengan telaten memindahkan nasi, sayur, dan bumbu yang aku sendiri nggak tahu namanya apa ke piring anyaman bambu yang ada di kiri tangan ibu penjual nasi ini.
“Mau lauk apa, Mbak?” tanya si ibu.
Aku pun menyebutkan lauk yang kumau. Dan kami pun makan dengan khidmat. Eh, bukan kami. Tapi cuma suami. Aku masih heran sambil mengulak-alik menu yang ada di piring bambu tersebut.
Yang mana, sih, boran itu? Apa bumbu kelapa goreng ini yang namanya boran? Dengan rasa penasaran aku tanya pada suami, “Mas, borannya mana?”
Dia pun tertawa, untung nggak kesedak.
“Piring anyaman bambu itu namanya boran. Juga tempat nasi besar terbuat dari anyaman bambu yang kalau pulang selalu digendong dengan selendang sama si ibu itu namanya boran.”
“Oh, jadi bukan nama lauk atau menunya?” Aku kembali tanya dengan wajah o’onku.
“Bukan!”
Oooh, aku baru tahu. Ternyata tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu yang selalu digendong dengan selendang sama si penjualnya itu yang dinamakan boran. Ya Tuhan, sebagai warga Lamongan asli, ke mana saja aku selama ini?
Dan kalian tahu berapa tarif kami makan tadi? Hanya Rp. 32.000,- Pemirsa. Murah sekali, kan? Padahal lauknya buanyaaak banget, bahkan sampai nggak habis dan kubungkus untuk kembali kumakan di rumah.
Alhamdulillah uang Rp. 32.000,- pun bisa bikin kenyang 2 orang. Asal sehat jiwa raga, semurah apapun makanan akan terasa nikmat. Buat si ibu juga, semoga jualannya laris manis dan sehat selalu. Jika sudah begini, nikmat Tuhan yang mana yang kamu dustakan?