Ismail Basbeth kembali ke jalurnya yang terbaik dengan film terbarunya, Sara. Film ini adalah sebuah drama keluarga yang sederhana namun menyentuh, dengan kisah yang universal dan akting yang memukau.
Sara berkisah tentang seorang transgender bernama Sara (Asha Smara Darra) yang pulang ke kampung halamannya setelah sekian lama untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Sang ibu, Muryem (Christine Hakim), begitu terpukul atas kematian suaminya sampai mengalami amnesia, dan mengira Sara hanya wanita asing yang ditugaskan untuk merawatnya.
Permasalahan yang Sara hadapi adalah hal-hal kompleks yang khusus mendera para transgender, seperti terpaksa menyembunyikan identitas dari sang ibu, diminta memberi waktu sampai para warga bisa menerima kehadirannya di musala. Namun, naskah buatan Basbeth mengatur supaya kisahnya berjalan di ruang yang universal.
Sara bukan membicarakan persekusi yang dialami transgender. Bukannya Basbeth menutup mata, karena Sara pun tetap mendapat beberapa penolakan. Hanya saja penolakan itu tak pernah kita lihat secara langsung. Seperti si tokoh utama, kita sebatas mendengarnya dari cerita orang-orang di sekitarnya, entah Ustaz Said (Landung Simatupang), maupun Ayu (Mian Tiara) yang dahulu pernah menyukai Sara saat ia masih seorang laki-laki bernama Panca.
Akhirnya, film ini dapat dipandang sebagai kisah sederhana tentang bakti anak kepada orang tua. Berangkat dari situ, secara halus Basbeth menampik stigma negatif yang kerap dialamatkan pada transgender. Mengikuti kata hati dengan mengubah gender tidak menjadikan Sara individu egois yang tak memedulikan orang tua. Dia ingin merawat sang ibu, bahkan di satu titik bersedia mengesampingkan jati dirinya supaya Muryem bahagia. Religiusitas juga tidak serta merta Sara tampik. Dia bersedia ikut salat berjamaah di musala, walau tujuan utamanya adalah menjaga Muryem.
Cerita film ini agak terbata-bata di awal, tatkala tempo lambat khas Basbeth melahirkan stagnasi kala dipertemukan dengan naskah yang terlalu lama berlarut-larut di satu fase. Tapi begitu konflik demi konflik mulai muncul, dan penelusurannya semakin mendalam, laju Sara pun makin tak terbendung.
Babak akhirnya tampil emosional, terutama saat kombinasi Asha Smara Darra yang meledak-ledak dan Christine Hakim yang lebih lembut membangun dinamika unik di sebuah adegan berlatar rumah sakit. Jajaran pendukungnya tidak kalah memikat. Landung Simatupang mencuri perhatian sebagai ustaz berpikiran terbuka, sedangkan Mian Tiara mencabik-cabik perasaan melalui luapan emosinya, ketika Ayu mengutarakan kerinduan kepada Panca yang selama ini harus ia tahan.
Sewaktu Basbeth menutup film memakai shot yang sederhana secara teknis namun indah secara makna, saya pun menyadari kepingan apa yang selama ini Sara cari. Dia berharap bisa menyebut kedatangannya ke kampung itu sebagai “kepulangan”. Sara hanya ingin menemukan rumahnya lagi.
Kelebihan Film
- Akting yang memukau dari Asha Smara Darra dan Christine Hakim
- Cerita yang sederhana namun menyentuh
- Penolakan terhadap stigma negatif terhadap transgender
- Pengambilan gambar yang indah
Kekurangan Film
- Cerita agak terbata-bata di awal
Kesimpulan
Sara adalah sebuah film yang patut untuk ditonton. Film ini adalah sebuah karya yang menyentuh dan penuh makna, dengan akting yang memukau dan cerita yang sederhana namun menyentuh.
4.2 ★★★★☆